Senin, 31 Oktober 2011

Konflik Buruh Freeport?? Analisa dengan etika bisnis

Komisis Pemberantasan Korupsi ( KPK ) harus turut terlibat dalam kasus demo dan mogok buruh Freeport Papua. Korupsi pertambangan belum tersentuh. kenapa pekerja Freeport punya tuntutan belum dijawab?. Ada dugaan indikasi penjarahan uang gaji karyawan untuk pembiayaan keamanan semata. Mogok buruh Freeport membenarkan bahwa Freeport selama beroperasi hanya mementingkan keamanan perusahaan saja dari pada kesejahteraan pekerja tambang. Perlu digaris bawahi juga bahwa tindakan mogok para pekerja Freeport adalah keharusan yang harus diperjuangkan. Nasib buruh di dunia memang sama nasib mereka, mereka mengalami penghisapan secara fisik maupun intelektualitas mereka. Namun hasil yang seharusnya mereka dapat dari kerja kuras energi itu patut juga digaji mahal.

Protes buruh Freeport juga fakta bahwa penanganan UU perburuan menyangkut perusahaan asing yang mempekerjakan buruh lokal sangat bertentangan. Negara-negara maju seperti Amerika, mereka lebih suka ambil pekerja murah dari negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tujuanya, agar perusahaan tidak begitu keluarkan biaya banyak dalam membayar gaji para pekerja di dunia ke tiga atau negara berkembang.

Sesuai surat pemberitahuan resmi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ( SPSI ) cabang Timika bahwa mogok kerja segera dilangsungkan selama satu bulan penuh, dimulai pada tanggal 15 September 2011 di halaman strategis Freeport OB2. Surat bernomor 01/P/PUK/SP-KEP/SPSI/PTFI/IX/2011 bersifat sangat penting ini, secara ringkas di muat dalam 6 halaman surat. Alasan dasar mogok para pekerja karena perundingan dengan manajemen PT FI tidak membuahkan hasil. Demo dan mogok dilakukan kurang lebih delapan ribu pekerja dari berbagai lini pekerjaan tambang Freeport. Menurut surat edaran tersebut pemogokan akan dilakukan hingga pemimpin utama Freeport Mc Moorant turun tangan atasi tuntutan mereka.

Pekrja tambang PT. Freeport selayaknya mendapat gaji yang memadai karena penghasilan Freeport begitu banyak. Jangan hanya karena protes buruh lalu pemerintah hadapi tuntutan mereka ( buruh ) dengan stigma macam-macam. Sampai pada kecaman pemerintah bahwa SPSI freeport memisahkan diri dari NKRI itu suatu kekeliruan besar. Negara Indonesia urus Papua termasuk persoalan buruh Freeport jangan pakai pendekatan stigma-stigma pembunuhan karakter. Bahwa separatisme tidak ada struktur dan bentuk yang nyata sehingga tidak perlu di sebut-sebut demikian.

“Dalam rapat bersama beberapa menteri, SPSI Pusat dan Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energy, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT Freeport Indonesia (PUK SP KEP SPSI PTFI), Management PT Freeport Indonesia kemarin malam ( sumber berita: http://tabloidjubi.com/daily-news/seputar-tanah-papua/13980-spsi-fi-dituding-ingin-memisahkan-diri-dari-nkri.html ) , pihak pemerintah dan Management PT. Freeport Indonesia malah menekan kami. Tapi kami menolak tawaran untuk mengikuti kehendak kapitalis PT. Freeport,” ungkap sumber yang tak disebutkan identitasnya, Jumat, (9/9).

Sumber itu membeberkan Menteri Pertambangan dan Energy menuding SPSI berjuang untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Sebenarnya kalimat ini telah mengancam pengurus SPSI oleh Management PTFI melalui beberapa menteri tersebut,” ucapnya. SPSI berjuang untuk memisahkan diri dari NKRI. Waktu kami hanya tertawa saja, sebab bahasa yang telah dilontarkan para pejabat negara tersebut, membela ketidakadilan yang dilakukan perusahaan raksasa Freeport terhadap karyawan, terutama pekerja masyarakat lokal maupun terhadap pembangunan di Papua.”

Papua secara politik sudah dikapling negara Amerika, sudah menjadi tradisi politik dunia memandang Papua. inilah suatu indikasi persoalan Papua membuat pemerintah Indonesia setengah hati menangani Papua. Drakula ekonomi di Papua kian menggurita, ekspansi ekonomi negara-negara asing seakan menjajah dan menjarah apa saja di bumi Papua. Kekayaan alam di jarah, hak berpolitik yang bermartabat pun di jarah. Orang Papua semakin terpinggirkan dari dunia globalisasi sekarang. Kami mati suri diatas tanah leluhur kami.

Pemerintah melalui upaya perundingan dengan kelompok bersenjata di Papua tidak kemudian menutup diri terhadap problem Papua seperti diatas. Segala persoalan harus diakomodir. Tentunya pejuang Papua juga tidak saja menutup diri pada perspektif sejarah-isme saja. tetapi problem sejarah baik kekerasan maupun politis itu terjadi dan tak pernah diselesaikan akibat akumulasi modal yang kian mnggurita. Kepentingan modal ekonomi para kapitalis di Papua merupakan sumber kehancuran Papua, baik sejarah, ekonomi, politik, maupun integritas orang Papua yang kian rapuh. maka itu, semua pihak dan kalangan dunia memandang Papua tidak pada problem sejarah berdiri sendiri, tetapi jargon imperialisme akar masalah rakyat Papua. Mari keluarkan Papua dari rongrongan imperialisme.


POLA KONFLIK ANTAR-SERIKAT BURUH

Konflik atau perbedaan pandangan adalah hal biasa. Konflik dapat terjadi di manapun dan menimpa siapapun yang memiliki kepentingan. Di serikat buruh konflik bahkan tak dapat dipisahkan dari keseharian kerja organisasi buruh ini. Permasalahan selalu muncul dan kerap kali tercampur antara yang organisasional dengan yang personal. Tentu hal ini pun berlaku di banyak organisasi atau kelompok kepentingan lain.

Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumber daya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara para pendukung di masing-masing pihak (Kartikasari, 2001:19).

Lain lagi ceritanya tentang konflik antara serikat pekerja dengan perusahaan itu sendiri. Terkadang perusahaanmerasa diri selalu benar, karena dia adalah pemilik perusahaan. Modal merekalah yang ditanamkan untuk membangun perusahaan, dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Membayar upah pekerja serendah mungkin, dengan demikian produknya mampu bersaing dengan negara lain.

Sebaliknya dari sisi pekerja, mereka sudah merasa maksimal bekerja. Menaati segala ketentuan, pergi pagi pulang petang, bahkan melebihi jam kerjapun dikerjakan juga, demi perusahaan tetap eksis dalam persaingan yang kian ketat. Namun mengapa penghasilan mereka tak kunjung beranjak di atas UMR misalnya. Padahal mereka tahu persis, perusahaannya dapat untung besar dan mampu meningkatkan upah pekerjanya.

Dua sisi pandang yang selalu berbeda inilah yang menyebabkan konflik pengusaha—pekerja terus bergulir. Masing-masing merasa paling benar dan bertahan dengan pendapatnya masing-masing. Muara dari konflik-konflik itu unjuk rasa ke sana ke sini, terutama ke DPR agar mendapatkan legitimasi atas aksi-aksinya itu. Dari sisi pengusaha, kerapnya dilakukan unjuk rasa berakibat produksi macet, maka kerugianlah yang di dapat. Akibatnya lebih lanjut , terjadi PHK-PHK yang dilakukan secara sepihak.

Di era reformasi, keterbukaan dan demokratisasi sekarang ini, unjuk rasa memang dibolehkan. Para pekerja boleh berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi negara. Namun dalam hubungan industrial Pancasila , seyogianya sebelum berunjuk rasa semua persoalan dikomunikasikan oleh kedua belah pihak. Pejabat Depnakertrans sudah sepantasnya menjadi mediator yang arif dan adil lagi bijaksana. Berpihaklah kepada kebenaran dan siapa pun yang bersalah harus disalahkan, atau siapa yang dzalim harus dihukum.

Selama ini, dalam banyak kasus PHK, terkesan pihak mediator selalu berpihak kepada pengusaha. Pekerja atau buruh,meskipun diback-up oleh serikat pekerjanya, kerap kali menjadi pihak yang dikalahkan.Belajar dari banyak fakta, sepantasnya kedua belah pihak melakukan mawas diri sebelum bertindak. Para pengusaha terutama, harus fair dan terbuka kepada para pekerjanya.

Gambarkan situasi yang sesungguhnya, baik manis maupun pahit. Kalau pengusaha sudah terbuka, niscaya para pekerja akan merasa timbul rasa tanggung jawab lebih besar untuk memajukan perusahaan. Para pekerja umumnya tidak neko-neko, sepanjang pengusaha berlaku terbuka. Para pekerja menyadari betul bahwa situasi kini memang sulit, kalau mereka berbuat macam-macam juga akan membawa risikonya sendiri. Mencari pekerjaan di tempat lain juga tidak mudah akibat kondisi yang sulit tadi.



(Penulis saat bergabung dengan teman-teman buruh memperjuang RUU BPJS)






-Alexander Philiph Sitinjak-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar